TINGWE ITU GAYA HIDUP, IRIT, APA KEASLIAN KITA?

Tingwe” Tembakau: Pengiritan, Gaya Hidup, atau Keaslian Jiwa Kita

Melinting rokok sendiri atau ”tingwe” (”linting dewe”-Jawa) memang menjadi gejala yang semakin marak sejak awal pandemi Covid-19

Banyak perokok memilih tembakau linting dewe karena tak mampu membeli rokok pabrikan saat pandemi. Ini Terucap Banyak Orang Melalui Survei Kecil Yang Kami Lakukan.

Kata tingwe entah kapan muncul. Namun, Lance Castles mencatatnya dalam buku Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus yang terbit pada 1982, sedangkan versi asli Bahasa Inggris buku ini terbit pada 1967. Castles berpandangan tingwe dilakukan untuk menghindari pajak yang dipungut melalui penjualan cukai.

Dikutip dari detik. Com

Tembakau di Hindia Belanda

Kata ses ini pula kujumpai dalam buku pelajaran lama yang terbit pada 1948 yang ada di rak buku di rumah. Buku Kembang Setaman 3 yang ditulis AC Deenik dan A. Van Dick (cetakan keempat) itu menampilkan percakapan antara seorang lurah dan mantri. Alih bahasa buku yang diterbitkan NV JB Walters Uitgeversmaaschappij ini dikerjakan Raden Sosragoenda. Pada salah satu penggalan percakapan dalam Bahasa Jawa, Pak Lurah bertanya:

"Kang Mas Mantri pandjenengan sapoenika kok kresa ses...." [Pak Mantri Anda sekarang kok mau merokok....].

Pak Mantri pun menjawab bahwa dia merokok karena terpengaruh tetangganya.

Buku setebal 116 halaman itu kali terbit pada 1927 dan terdapat dua bab yang secara ringkas membahas tembakau di Hindia Belanda mulai dari cara menanam hingga daerah utamanya. Wilayah Kedu, termasuk Magelang, Temanggung, Wonosobo dikenal sebagai penghasil tembakau terbaik. Buku ini juga menceritakan, untuk mencapai wilayah yang disebut terakhir, pada masa itu perlu menggunakan trem atau kereta api dari Muntilan menuju ke Stasiun Parakan, selanjutnya perjalanan dilakukan melalui moda lain.

Kala itu tlatah tersebut mempunyai jalur kereta api yang menghubungkan ke Secang selanjutnya ke Magelang hingga ke Jogja. Jalur Secang-Parakan selesai dibangun Pemerintah Hindia Belanda pada 1907, namun operasional jalur ini resmi dihentikan awal 1970-an. Untuk mencapai wilayah Wonosobo sebagaimana digambarkan dalam buku era kolonial itu harus melintasi jalan berkelok dan dingin, seperti Kledung yang terletak di antara Gunung Sumbing, yang juga menjadi latar novel berbahasa Jawa Ngulandara besutan Margana Djajaatmaja yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1920.

Catatan Ong Hok Ham dan Amen Budiman dalam Hikayat Kretek menyebut, berdasarkan tulisan RJL Kassendranger yang terbit pada 1841 tembakau asal Kedu itu merupakan yang terbaik di Pulau Jawa. Kemasyhuran tembakau asal wilayah ini juga menjadi reportase Madjalah Gappri, Gabungan Perserikatan Paberik Rokok Indonesia, edisi 22 Desember 1958. Mohammad Sobary dalam berbagai buku kumpulan kolomnya mengatakan tembakau kawasan ini sebagai terbaik di dunia.

Hadirnya tembakau di daerah berhawa sejuk itu juga diwarnai mitos. Sebagaimana dikisahkan warga Lamuk Legok dan desa lain di lereng Sumbing yang dikenal sebagai tembakau srinthil yang tenar itu. Eva Laily, melalui bukunya Srithil Saujana Lereng Sumbing, merekam tuturan warga soal muasal tembakau ke desa itu yang konon dibawa oleh murid Sunan Kudus yang keturunan Tionghoa, Ma Kuw Kwan.

Dia diangkat murid Sunan Kudus seusai lolos dan melarikan diri dari sergapan pasukan Capiturang. Setelah dinilai mumpuni, dia diberi tugas menyebarkan agama sekaligus mengajarkan bertani di wilayah yang bertanah subur itu. Suatu kali ada warga yang sakit, Sang Kyai pun menyembuhkan dengan tumbuhan yang belum diketahui namanya. Sambil berujar setengah memekik, Ma Kuw Kwan berucap, "Iki tambaku," yang dalam Bahasa Jawa artinya ini obatku. Dari tambaku supaya lebih singkat kemudian menjadi mbako, sedangkan Ma Kuw Kwan dilidahjawakan menjadi Mukukuhan.

Menyebarnya tembakau sampai ke Hindia Belanda termasuk Pulau Jawa juga dikisahkan AC Deenik dan A. Van Dick. Mereka yakin pohon ini dibawa oleh Bangsa Belanda, sebagaimana disampaikan Thomas Stanford Raffles dalam The History of Java. Namun, Ong Hok Ham dan Amen Budiman sepakat tembakau dibawa ke Jawa oleh Bangsa Portugis. Ini didasarkan pada kata tembako atau bako yang lebih dekat dengan istilah Portugis, tabaco atau tumbaco daripada tabak, kata yang dalam Bahasa Belanda artinya tembakau.

Sebelum dibuat pabrikan, di masa lampau orang menggulung sendiri tembakaunya. Ada yang menggunakan enau, ada pula memakai klobot, daun jagung yang dikeringkan, dan kini menggunakan kertas tipis layaknya kertas rokok pabrikan. Alat penggulungnya pun baik yang sekadar lembar plastik hingga berbahan kayu seperti di pabrik kretek pun tersedia di pasaran. Makin naiknya harga rokok akibat naiknya cukai hampir membuat sebagian orang kembali menggulung sendiri tembakaunya.

Menghindari Pajak

Kata tingwe entah kapan muncul. Namun, Lance Castles mencatatnya dalam buku Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus yang terbit pada 1982, sedangkan versi asli Bahasa Inggris buku ini terbit pada 1967. Castles berpandangan tingwe dilakukan untuk menghindari pajak yang dipungut melalui penjualan cukai.

Tingwe semula dilakukan oleh pekerja kerah biru dan petani di perdesaan. Ada yang memang jadi kebiasaan harian, ada juga yang selingan karena di waktu tertentu seperti hajatan mengisap buatan pabrik. Memang ada suatu masa dimana rokok beserta jenis dan mereknya menunjukkan strata sosial.

Namun kini melinting tembakau bagi sebagian orang menjadi aktivitas yang mengasyikkan. Naiknya harga rokok, kondisi ekonomi yang terganggu akibat pandemi, bertambahnya waktu luang karena sebagian besar pekerjaan dilakukan di rumah membuat aktivitas tingwe kian leluasa. Layaknya penggemar kopi yang mencampur atau nge-blend beragam kopi, tingwe juga memadukan aneka tembakau dari berbagai penjuru. Ada yang meramu agar aroma dan rasanya seperti rokok favoritnya, ada pula yang pengin original bahkan Sudah ber merk dan ber aneka rasa layaknya Vape. 

Tak mengherankan warung tembakau pun juga bermunculan. Sebagian menyatu dengan warung kopi yang sebelumnya berdiri.

Inilah Beberapa contoh merk tembakau tingwe dengan rasa enak dan harga murah :

1. Violin dari Tarumartani
2. Virgin dari Tarumartani Best seller rasa Apel
3. SW diss bacco dengan 2jenis Prime atau premium dengan best seller rasa kopinya dan Jenis Choice, Best seller rasa Stroberi milky nya
4. Queen zee factory taste, yaitu tembakau kiloan dengan rasa menyerupai rokok pabrikan yang Konon Katanya Mirip dengan Aslinya, atau banyak yg bisa mendekati aslinya, sperti surya, Sampoerna, samsu, jarum dll
5. Marsbrand ini tembakau sudah kawakan dan sudah sejak lama
6. Tias Tembakau Rasa, best seller ada 7 rasa
7. Nona tiga putri warna hitam
8. Jagorasa Premium Rasa
9. Heritage Kembang desa

Itu beberapa contoh tembakau best seller, dan untuk rasa dan merk lain pun masih begitu banyak, karna memang semenjak tingwe ini merebak, banyak produsen bermunculan, mewarnai kancah Pertembakauan di Nusantara


Postingan populer dari blog ini

Nama Queen Zee Bakalan Tercengang Anda Dibuatnya, Cekidot

TIAS TEMBAKAU FLAVOUR cari di Toko Tembakau Terdekat mu